Beranda | Artikel
Faedah Surat An-Nuur #02: Pezina untuk Pezina, Hamil di Luar Nikah
Kamis, 31 Agustus 2017

Pezina itu untuk pezina dan tidak layak untuk orang beriman.  Baca bahasan menarik dari faedah surat An-Nuur kali ini.

 

Ayat 3

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” (QS. An-Nuur: 3)

 

Maksud Ayat

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa inilah ayat yang menunjukkan jeleknya zina. Zina itu menjatuhkan kehormaan pelakunya, juga menjatuhkan kehormatan orang-orang terdekatnya. Ayat ini menunjukkan bahwa laki-laki pezina hanya mendapatkan perempuan pezina, ia sesuai dengan kondisi pasangannya atau ia dijodohkan dengan orang yang berbuat syirik pada Allah yang tidak beriman pada hari pembalasan (hari kiamat) dan tidak konsekuen dengan aturan Allah. Perempuan pezina pun demikian dipasangkan dengan yang setipe dengannya, yaitu dengan laki-laki pezina atau laki-laki musyrik.

Ini adalah dalil tegas—sebagaimana dikatakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di—mengenai keharaman nikah seorang pezina sampai ia bertaubat. Dalil ini pun menunjukkan bahwa pezina tidaklah beriman ketika ia berzina. Sebagaimana hal ini juga ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِينَ يَزْنِى وَهْوَ مُؤْمِنٌ

Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina.” (HR. Bukhari, no. 2475 dan Muslim, no. 57). Lihat bahasan Tafsir As-Sa’di, hlm. 591.

Jika seseorang laki-laki menikahi wanita pezina dalam keadaan ia meyakini itu haram, jadi sekedar menuruti nafsunya, maka laki-laki tersebut juga disebut pezina. Namun jika laki-laki menikahi wanita pezina namun tidak meyakini haramnya bahkan ia mengingkari keharamannya, maka laki-laki itu disebut musyrik. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Karim – Surat An-Nuur, hlm. 22-23.

 

Asbabun Nuzul Ayat

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-Ghanawy membawa tawanan perang dari Mekah dan di Mekah ada seorang perempuan pelacur yang bernama ‘Anaq dan ia adalah teman Martsad. Martsad berkata, “Aku datang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alaihi wa sallam lalu aku berkata, “Ya Rasulullah, saya ingin menikahi ‘Anaq?” Martsad berkata, “Maka beliau diam, lalu turunlah (ayat yang artinya), “Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik.” Kemudian beliau memanggilku lalu membacakan ayat tadi padaku dan beliau berkata, “Jangan engkau menikah dengannya.” (HR. Abu Daud, no. 2051 dan An-Nasa’i, no. 3230. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.). Lihat bahasan dalam At-Tashiil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Surat An-Nuur, hlm. 32-33.

 

Bahaya Zina

Allah Ta’ala dalam beberapa ayat telah menerangkan bahaya zina dan menganggapnya sebagai perbuatan amat buruk. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” (QS. Al-Furqan: 68). Artinya, orang yang melakukan salah satu dosa yang disebutkan dalam ayat ini akan mendapatkan siksa dari perbuatan dosa yang ia lakukan.

Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau bersabda, “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan, padahal Dia-lah yang menciptakanmu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda, “Engkau membunuh anakmu yang dia makan bersamamu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda,

ثُمَّ أَنْ تُزَانِىَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ

Kemudian engkau berzina dengan istri tetanggamu.” Kemudian akhirnya Allah turunkan surah Al-Furqan ayat 68 di atas. (HR. Bukhari, no. 7532 dan Muslim, no. 86). Di sini menunjukkan besarnya dosa zina, apalagi berzina dengan istri tetangga.

Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا زَنَى الرَّجُلُ خَرَجَ مِنْهُ الإِيمَانُ كَانَ عَلَيْهِ كَالظُّلَّةِ فَإِذَا انْقَطَعَ رَجَعَ إِلَيْهِ الإِيمَانُ

Jika seseorang itu berzina, maka iman itu keluar dari dirinya seakan-akan dirinya sedang diliputi oleh gumpalan awan (di atas kepalanya). Jika dia lepas dari zina, maka iman itu akan kembali padanya.” (HR. Abu Daud, no. 4690 dan Tirmidzi, no. 2625. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.). Itulah karena iman itu berkurang dengan maksiat dan bertambah dengan ketaatan. (Syarh Sunan Abi Daud libni Raslan, 18:219)

Disebutkan dalam hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu tentang mimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berjalan bersama dua penjaga neraka,

فَانْطَلَقْنَا فَأَتَيْنَا عَلَى مِثْلِ التَّنُّورِ – قَالَ فَأَحْسِبُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ – فَإِذَا فِيهِ لَغَطٌ وَأَصْوَاتٌ – قَالَ – فَاطَّلَعْنَا فِيهِ ، فَإِذَا فِيهِ رِجَالٌ وَنِسَاءٌ عُرَاةٌ ، وَإِذَا هُمْ يَأْتِيهِمْ لَهَبٌ مِنْ أَسْفَلَ مِنْهُمْ ، فَإِذَا أَتَاهُمْ ذَلِكَ اللَّهَبُ ضَوْضَوْا – قَالَ – قُلْتُ لَهُمَا مَا هَؤُلاَءِ قَالَ قَالاَ لِى انْطَلِقِ انْطَلِقْ

Maka kami pun berangkat, kemudian pergi mendatangi yang seperti tungku api. Ternyata di dalamnya terdapat kegaduhan dan suara-suara teriakan. Lalu kami melihat ke dalam, terdapat banyak laki-laki dan perempuan yang telanjang. Mereka disemburi api dari arah bawah mereka. Apabila api itu datang menyembur mereka, mereka berteriak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Siapakah mereka ini?’ Mereka berdua menjawab, ‘Berangkatlah, berangkatlah.’ Maka kami pun berangkat.”

Lalu disebutkan siapakah mereka itu,

وَأَمَّا الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ الْعُرَاةُ الَّذِينَ فِى مِثْلِ بِنَاءِ التَّنُّورِ فَإِنَّهُمُ الزُّنَاةُ وَالزَّوَانِى

Adapun laki-laki dan perempuan yang telanjang itu yang berada di dalam bangunan seperti tungku api adalah para pezina (peselingkuh).” (HR. Bukhari, no. 7047)

 

Hamil Karena Zina

Bolehkah menikahi wanita yang dihamili karena zina?

Asalnya tidak boleh menikahi wanita pezina kecuali memenuhi dua syarat yaitu bertaubat dan melewati masa istibra’ (membuktikan kosongnya rahim).

Dalilnya kenapa harus bertaubat dahulu, karena berdasar ayat ketiga dari surah An-Nuur yang dibahas kali ini.

Adapun dalil yang menunjukkan kenapa harus istibra’ adalah ayat dan hadits-hadits berikut ini.

Dalam ayat disebutkan,

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4)

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tawanan perang Authas,

لاَ تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً

Wanita hamil tidaklah boleh disetubuhi hingga ia melahirkan, begitu pula wanita yang tidak hamil sampai mengalami istibra’ (membuktikan kosongnya rahim) yaitu sampai satu kali haid.” (HR. Abu Daud, no. 2157. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dalam Irwa’ Al-Ghalil, no. 187, 1:200.)

Dari Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ

Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menumpahkan airnya ke tanaman orang lain.” (HR. Abu Daud, no. 2158, Tirmidzi, no. 1131. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat Irwa’ Al-Ghalil, no. 2137, 7:213.)

Dari Abu Ad-Darda’, ia berkata

أَنَّهُ أَتَى بِامْرَأَةٍ مُجِحٍّ عَلَى بَابِ فُسْطَاطٍ فَقَالَ لَعَلَّهُ يُرِيْدُ أَنْ يُلِمَّ بِهَا فَقَالُوْا نَعَمْ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَلْعَنَهُ لَعْنًا يَدْخُلُ مَعَهُ قَبْرَهُ كَيْفَ يُوَرِّثُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ كَيْفَ يَسْتَخْدِمُهُ وَهُوَ لاَ يَحِلُّ لَهُ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi seorang perempuan hamil yang hampir melahirkan di pintu Fusthath. Beliau bersabda, “Barangkali orang itu ingin menggaulinya?” Para sahabat menjawab, “Benar.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya.” (HR. Muslim, no. 1441). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan menyetubuhi wanita hamil sampai ia melahirkan baik hamil tersebut lewat jalan haram atau tidak.” (Zaad Al-Ma’ad, 5:647)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat,  terserah yang menikahinya adalah yang menzinainya ataukah orang lain. Inilah yang benar tanpa ada keraguan. Inilah pendapat ulama salaf (dahulu) dan khalaf (belakangan), di antara yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad. Namun kebanyakan ulama membolehkannya, inilah pendapat tiga madzhab lainnya. Akan tetapi Imam Malik memberikan syarat harus melewati masa istibra’ (membuktikan kosongnya rahim, pen.). Imam Abu Hanifah membolehkan akad nikah sebelum istibra’ ketika wanita tersebut hamil karena zina. Namun Abu Hanifah berpandangan bahwa wanita tersebut tetap tidak boleh disetubuhi sampai ia melahirkan. Imam Syafi’i dalam kasus ini membolehkan akad dan menyetubuhi wanita tersebut secara mutlak. Imam Syafi’i menganggap karena mani dari orang yang berzina tidak dimuliakan sehingga dalam hal nasab tidak dilekatkan. Demikian maksud dari Imam Syafi’i. Sedangkan Imam Abu Hanifah membedakan wanita zina yang akhirnya hamil dan tidak hamil. Kalau wanita tersebut hamil, maka anak yang lahir tidak dianggap sebagai anak (secara nasab, pen.), hal ini dibedakan dengan yang tidak hamil.

Imam Malik dan Imam Ahmad menyaratkan istibra’, inilah yang tepat. Akan tetapi Imam Malik, juga Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya menyaratkan istibra’ dengan sekali haid. Dalam pendapat Imam Ahmad yang lain, istibra’ itu dengan tiga kali haid, ini juga yang jadi pendapat kebanyakan ulama madzhab Hambali seperti Al-Qadhi Abu Ya’la dan murid-muridnya. Yang tepat, disyaratkan hanya istibra’ saja. Tidak disyaratkan tiga kali haid (seperti wanita yang diceraikan yang harus melewati masa ‘iddah, pen.).” (Majmu’ah Al-Fatawa, 32: 110)

 

Bolehkah menikahi wanita yang dihamili?

Kalau ingin menikahi wanita hamil karena zina oleh laki-laki yang menzinainya, yang tepat tetap menunggu sampai wanita tersebut melahirkan. Lalu bolehkah wanita tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya?

Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra dengan sanad shahih, dari ‘Abdullah bin Abi Yazid dari bapaknya bahwa Saba’ bin Tsabit pernah menikahi puteri dari Rabah bin Wahab. Saba’ mempunyai anak laki-laki (kita sebut A, pen.) dari pernikahannya dengan lainnya. Begitu pula perempuan tadi punya anak perempuan (kita sebut B, pen.) dari hasil pernikahan dengan lainnya. Diketahui si A akhirnya bersetubuh dengan si B tadi sampai hamil (hamil karena zina, pen.). Masalah ini akhirnya sampai pada Umar bin Al-Khattab. Mereka berdua mengakuinya lantas dijatuhi hukuman cambuk. Setelah itu, Umar tetap mendorong agar mereka menikah, namun anak laki-laki itu enggan. (Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Surat An-Nuur, hlm. 53-54.)

Catatan: Hubungan antara anak laki-laki seorang duda dengan anak wanita seorang janda di mana orang tua masing-masing menikah bukan hubungan mahram, sehingga dibolehkan dan dimungkinkan terjadi pernikahan di antara mereka.

 

Bagaimana jika nikahnya sudah dianggap sah?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa menggauli wanita dengan keadaan yang dia yakini pernikahan itu sah, maka nasab (anak) diikutkan kepadanya, dan dengannya berkaitanlah masalah mushaharah (kekerabatan) dengan kesepakatan ulama sesuai yang kami ketahui. Meskipun pada hakikatnya pernikahan itu batil (tidak teranggap) di hadapan Allah dan Rasul-Nya, dan begitu juga setiap hubungan badan yang dia yakini tidak haram padahal sebenarnya haram, (maka nasabnya tetap diikutkan kepadanya).” (Majmu’ah Al-Fatawa, 32:66)

 

Jika Istri Seorang Pelacur

Inilah dampak buruk jika istri adalah seorang pelacur sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Musthafa Al-‘Adawi berikut:

  1. Menikahi wanita pezina dilarang dalam ajaran agama kita sampai ia bertaubat.
  2. Jika ada anak yang dilahirkan dari hasil melacur dengan laki-laki lain, lalu akhirnya dianggap anak oleh pasangan suami-istri berarti menyandarkan anak yang lahir tadi bukan pada bapaknya.
  3. Wanita pelacur kalau lagi marah dan tidak senang pada suaminya, maka ia bisa mencari laki-laki lain sebagai tempat pelampiasannya.
  4. Wanita pelacur akan mengantarkan suaminya pada hal yang diharamkan. Wanita pelacur akan membuat suaminya bisa mencari wanita lain sebagai tempat pelampiasan syahwat. Begitu pula laki-laki pezina akan membuat istrinya memikirkan mencari laki-laki lain untuk hal serupa.
  5. Wanita pezina akan membuat suaminya kehilangan rasa cemburu sehingga jadilah suaminya seorang dayyuts yang di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan, “Ada tiga orang yang Allah haramkan masuk surga yaitu: (1) pecandu khamar, (2) orang yang durhaka pada orang tua, dan (3) dayyuts, yaitu orang yang tidak memiliki sifat cemburu yang menyetujui perkara keji pada keluarganya.” (HR. Ahmad 2: 69, hadits ini shahih dilihat dari jalur lain)
  6. Wanita pezina akan mengajarkan anak-anaknya untuk berzina sehingga mereka menjadi keturunan yang rusak karena terbina dari keluarga yang fasik.
  7. Seseorang akan sesuai dengan agama teman dekatnya (al-mar’u ‘ala diini khalilihi). Tentunya yang berzina akan mempengaruhi pasangannya.
  8. Tersebarnya penyakit berbahaya dalam rumah sebagai hukuman zina yang disegerakan di dunia seperti terkena penyakit AIDS.
  9. Suami akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat jika terus membiarkan istrinya melacur.
  10. Harga diri orang yang berzina dan pasangannya akan jatuh di mata orang banyak, begitu pula di mata keluarganya. (Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Surat An-Nuur, hlm. 39-41.)

 

Faedah Ayat #03

  1. Zina itu sangat jelek dan diharamkan bagi orang beriman.
  2. Laki-laki pezina untuk perempuan pezina, begitu pula sebaliknya. Mereka cocok dengan yang setipe.
  3. Tidak boleh menikah dengan pezina sampai ia bertaubat. Ditambahkan bagi wanita harus melewati masa istibra’ (sampai melahirkan atau sekali haid).
  4. Tidak pantas laki-laki beriman yang baik menikah dengan pezina (pelacur), begitu pula sebaliknya.
  5. Orang yang berzina tidak dalam keadaan beriman saat ia berzina.
  6. Maksiat itu mengurangi iman.
  7. Pada ayat ketiga dari surah An-Nuur disebutkan laki-laki dahulu kemudian perempuan pezina, padahal pada ayat kedua sebelumnya disebutkan perempuan lebih dahulu kemudian laki-laki. Hal ini dikarenakan laki-lakilah yang memulai melamar dan memulai meminta dalam hal nikah.

 

Wallahu a’lam. Moga Allah beri taufik dan hidayah.

 

Referensi:

  1. At-Tashiil li Ta’wil At-Tanzil – Tafsir Surat An-Nuur. Cetakan kedua, tahun 1423 H. Syaikh Musthafa bin Al-‘Adawi. Penerbit Maktabah Makkah.
  2. Irwa’ Al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Manar As-Sabil. Cetakan kedua, tahun 1405 H. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Penerbit Al-Maktab Al-Islami.
  3. Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, tahun 1432 H. Ahmad bin ‘Abdul Halim Al-Harrani Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Penerbit Darul Wafa’ dan Dar Ibnu Hazm.
  4. Syarh Sunan Abi Daud libni Raslan. Cetakan pertama, tahun 1437 H. Ibnu Raslan. Penerbit Darul Falah.
  5. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Tahqiq: Abu Ishaq Al-Huwaini. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
  6. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim – Surat An-Nuur. Cetakan pertama, tahun 1436 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Muassasah Ibnu ‘Utsaimin.
  7. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  8. Zaad Al-Ma’ad. Cetakan keempat, tahun 1425 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Diselesaikan @ Perpus Rumaysho, Panggang, Gunungkidul, @ hari Arafah 9 Dzulhijjah 1438 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/16322-faedah-surat-an-nuur-02-pezina-untuk-pezina-hamil-di-luar-nikah.html